Langsung ke konten utama

Jangan Biarkan Hati Kita Mati

Jangan Biarkan Hati Kita Mati
Sesuatu yang ada pada diri kita yang paling sangat berharga adalah hati( qolbu ). Maka jangan biarkan hati (qolbu) ini mati. Diantara tanda-tanda matinya hati (qolbu) adalah ketika seseorang sudah tidak merasa susah, sudah tidak merasa bersedih ketika kehilangan keselarasan taat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, serta tidak ada rasa penyesalan dari setiap perbuatan dosa-dosanya.
Hati( qolbu ) yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit hati( qolbu ) yang dideritanya. Manakala hati( qolbu ) seseorang sudah tidak sehat lagi, berarti hati (qolbu) sedang terserang berbagai penyakit kronis. Penyakit hati( qolbu ) itu begitu banyak yang terkumpul dalam sifat Al Madzmumat yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti : takabur, ujub, riya, kufur, syirik dan sifat –sifat tercela lainya.
Ketika sikap-sikap madzmumat ini dihadapkan pada kepentingan Alloh, maka akan muncul tiga hal :
1)      Manusia semakin lari dari Alloh, atau
2)      Dia justru memanfaatkan symbol - symbol Alloh untuk kepentingan hawa nafsunya, atau
3)      Yang terakhir dia dibuka hati( qolbu )nya oleh Alloh melalui Hidayah-Nya.
Ibnu Ajibah, menyimpulkan didalam Al Hikam, bahwa kematian hati( qolbu ) karena tiga hal :
1)      Mencintai dunia.
2)      Lalai( Alpa/Gholflah ) dari mengingat Alloh.
3)      Membiarkan dirinya bergelimang maksiat.
Dan faktor yang menyebabkan hati( qolbu ) itu hidup, juga ada tiga hal ;
1)      Zuhud dari dunia.
2)      Menyibukkan Dzikrulloh.
3)      Bersahabat dengan kekasih-kekasih Alloh.
Tanda-tanda kematian hati( qolbu ) itu juga ada tiga hal :
1)      Jika seseorang sudah tidak merasa susah dan bersedih lagi ketika kehilangan keselarasan taat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala.
2)      Tidak ada penyesalan dalam setiap perbuatan dosa-dosanya.
3)      Bersahabat dengan manusia-manusia yang lupa kepada Alloh, yang hatinya sudah mati.

Munculnya kepatuhan kepada Alloh merupakan tanda kebahagiaan sedangkan munculnya hasrat kemaksiatan merupakan tanda kecelakaan seorang hamba.
Apabila hati( qolbu ) hidup dengan ma’rifat dan iman maka faktor yang menyiksa hati( qolbu ) adalah segala bentuk yang membuat hati menderita berupa kemaksiatan hati kepada Alloh.
Dan yang membuat gembira adalah faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Jika seorang hamba Alloh mampu berbuat taat serta mampu melaksanakan ibadah, itulah tanda bahwa hamba mendapatkan Ridlo Alloh Subhanahu wa ta’ala. Hati( qolbu ) yang hidup senantiasa merasakan Ridlo Alloh, lalu bergembira dengan ketaatan pada Nya.
Jika seorang hamba Alloh bermaksiat kepada Nya, itulah pertanda Alloh menurunkan amarah Nya.
Hati( qolbu ) yang mati tidak merasakan apa-apa, bahkan sentuhan taat dan derita maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh mayit, tidak ada rasa hidup atau rasa mati.
Rosululloh Sholallaohu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikan dan dideritakan oleh kemaksiatan“.
Ibnu Athoilah, mengingatkan agar dosa dan masa lalu jangan sampai membelenggu hamba Alloh yang menyebabkan hamba kehilangan harapan kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, karana itu rasa bersalah yang berlebihan yang terus menerus menghantui hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya dihadapan Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Kebesaran ampunan Alloh tidak bisa dilampaui oleh seluruh dosa-dosa hamba – Nya. Ampunan Alloh lebih Agung, lebih besar, dan lebih kasih sayang kepada hamba Nya yang bertaubat, karena Alloh Subhanahu wa ta’ala ber-Firman : “Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”.
Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba – hamba Alloh menjadi su’udzon kepada Alloh.
“Dosa sebesar apapun jangan sampai menghalangi Husnudzon ( berbaik sangka ) seseorang kepada Alloh”.
Wacana ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka Kitab Al Hikam :
Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal adalah rasa pesimis kepada Rohmat Alloh ketika hamba berbuat dosa”.
Jika seseorang masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Alloh, berarti orang akan pesimis jika kesalahan menimpanya. Padahal orang harus mengggantungkan diri kepada Alloh, mengandalkan Alloh, bukan mengandalkan amal. Karena menggandalkan amal bisa menciptakan rasa arogansi spiritual, dengan merasa paling banyak amal dan taat nya, kemudian merasa paling benar, merasa paling dekat dengan Alloh.
Dalam soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan :
1)      Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut dibanding harapannya.
2)      Golongan menengah, biasanya seimbang antara harapannya dan ke-takutannya.
3)      Golongan yang sudah sampai kepada Alloh, lebih didominasai rasa harapan yang optomis kepada Alloh.

Inilah yang tergambar pada saat gurunya Al Junaid, Sirry As Saqothy dalam kondisi maqbudl ( terhimpit oleh suasana ruhaniyahnya dalam genggaman Alloh ).
Ada apa gerangan wahai paman ? Tanya Al Junaid.
Oh anakku, ada seorang pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya kepadaku, “apakah hakikat taubat itu ?”.
Lalu aku menjawab “Hendaknya engkau tidak melupakan dosa-dosamu”.
Tetapi pemuda itu  mengatakan sebaliknya, “Tidak, tapi justru hendaknya engkau melupakan dosa-dosamu” lalu pemuda itu keluar begitu saja.
Kemudian Al Junaid menegaskan “Ya, menurutku yang benar adalah  kata-kata pemuda tadi, karena itu jika aku berada dimusim panas, lalu aku mengingat dimusim dingin, berarti aku berada dimusim dingin”.
Pandangan As Sirry, benar, bagi para pemula, sedangkan pandangan Al junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Bagaimana sikap mereka yang mencapai tahap Ma’rifatulloh ?,
“Siapa yang Ma’rifat kepada Alloh maka semua dosa adalah kecil disisi Kemurahan Nya”.
Maksud dari kalimat tersebut, jika kita mengenal Sifat dan Asma Alloh Yang Maha Pemurah, para hamba akan terus optimis terhadap Ampunan Alloh, karena tidak ada yang melebihkan Kebesaran serta ke-Agungan Nya.
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian semua berdosa, sampai-sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian kalian bertaubat, Alloh pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak ada lagi hamba Nya yang berbuat dosa, lalu datang para hamba Nya yang berbuat dosa, para hamba ini pun memohon ampun kepada Alloh, maka Alloh juga mengampuni mereka. Karena sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Mengasihi”.
Namun, seorang hamba tidak boleh terjebak oleh Ghurur, dengan alibi mengabaikan dosa dan menganggap ringan doso-dosa itu.
Dan ditegaskan lagi oleh Ibnu Athoilah : “Tak ada dosa kecil jika berhadapan dengan Keadilan Nya, dan yak ada dosa besar jika berhadapan dengan Fadlol Nya.
Hikmah yang dapat dipahami adalah : apabila seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ibudiyah( ibadah ibadah ), berarti itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan Fadlol Nya Alloh Subhahu wa ta’ala, sebaliknya jika sang hamba bermaksiat dengan menuruti hawa nafsunya berarti menurupakan pertanda bahwa sang hamba berhadapan dengan Keadilan Nya.
Tak ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Alloh, dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding kita menyongsong Fadlol dan Rohmat Nya.

000

000

Media Informasi & Dakwah Para Penyambut Pecinta Kesucian Jiwa.
 
Thoriiqoh Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah PP Suryalaya Membangun Peradaban Dunia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Robithoh

Robithoh Robithoh, dapat diartikan hubungan antara yang menghubungi dari yang dihubungi. Seperti hubungan :  antara anak dengan orang tuanya. Antara guru dengan muridnya. Antara mahasiswa dengan dosennya. Antara menantu dengan mertuanya. Antara pedagang eceran dengan agen besarnya. Antara santri dengan kiayinya. Antara saudara dengan saudaranya. Antara teman dengan temannya. Antara rakyat dengan pemimpinnya. Antara bawahan dengan atasannya. Antara upline dengan downline-nya. Antara kita ummat dengan Nabinya. Antara kita hamba dengan Alloh Subhanahu wa ta’ala . Adapun hubungan itu, ada hubungan langsung juga ada hubungan tidak langsung. Adapun Robithoh wajib itu, seperti ummat Islam melaksanakan sholat dengan menghadap kiblat. Kiblat itu penghubung antara orang yang Sholat dengan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau tidak menghadap Kiblat, maka sholatnya tidak akan syah. Jadi untuk melakukan yang wajib maka wajib dengan Robithoh tersebut ( menghadap kilat ) . Itulah Sya

Tidak Ada Yang Kebetulan

DI DUNIA INI TIDAK ADA YANG KEBETULAN === Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala : “ Dan pada Alloh-lah kunci-kunci semua yang ghoib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata ( Lauh Mahfudz )" ( Surat Al-An'am : 59 ). Tiada sesuatu yang kebetulan. Karena Alloh telah menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang terlepas dari kudrot, irodat, dan ilmu Alloh. Segalanya yang terjadi bahkan yang akan terjadi telah tercatat di lauh mahfudz. Ayat tsb diatas menegaskan bahwa segalanya ada dibawah kehendak & ilmu Alloh, Dan semuanya sudah tercatat di lauh mahfudz. Sering kita mendengar percakapan sehari-hari yang mengatakan, “ Kebetulan ketemu disini ”, “ Kebetulan ada yang memberi”, “K ebetulan sekali h

Pentingnya Berwasilah

Pentingnya Berwasilah Oleh : Renandhi Wira Fitra, S.H.I. Ikhwan TQN PPS dari Kota Depok. Setiap diri yang memiliki niat dan cita cita untuk sampai(Wushul) kepada Alloh sudah PASTI akan membutuhkan WASILAH ( perantara). Hal ini sebagaimana firman Alloh Swt : “ Hai orang orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Alloh dan carilah wasilah dalam mencapai ketaqwaan itu ....” ( QS. Al-Maidah : 35 ) Dalam ayat tersebut kalimat wabtaghu menggunakan fi’il amar/kata perintah yang menandakan khitab /seruan bagi orang beriman bahwa mencari wasilah itu adalah kewajiban...kenapa wajib ? karena memang manusia membutuhkannya..! Jadi dengan adanya wasilah bagi setiap hamba itu adalah mutlaq suatu KEBUTUHAN, selain berdasarkan dari dalil ayat tersebut juga berdasarkan kepada tabiat manusia yang selalu membutuhkan bantuan dalam medapatkan sesuatu, sehingga menolak adanya wasilah maka itu bertentangan dengan Hukum Alloh dan fitrah manusia itu sendiri. Wasilah adalah perantara yang